Manajemen Issue & Krisis dan PR


Definisi Manajemen Issue

Terminologi “issues management” pertama kali dipublikasikan oleh W. Howard Chase pada tanggal 15 April 1976 dalam newsletter-nya “Corporate Public Issues and Their Management” Volume 1 No. 1. Newsletter tersebut, sekarang sering disebut CPI, menyebutkan bahwa tujuan-tujuan manajemen issue adalah untuk memperkenalkan dan memvalidasikan suatu penetrasi dalam desain dan praktek manajemen korporat dengan tujuan untuk setidaknya mengelola issue publik korporat sebaik atau bahkan lebih baik dibandingkan manajemen tradisional dari operasional yang hanya memikirkan keuntungan saja. Ia juga berkata bahwa isi newsletter-nya akan menggiring pembacanya pada revisi dasar atas praktek-praktek yang berbiaya tinggi dan tak sesuai dari jajaran staff manajemen tradisional. Ditambahkannya bahwa pada masa ini hanya ada satu manajemen dengan satu tujuan: bertahan hidup dan kembali pada kapital yang cukup untuk memelihara produktivitas, apapun iklim ekonomi dan politik yang tengah berlangsung. (Caywood, 1997:173).

Bersama rekannya, Barry Jones, Chase mendefinisikan “Manajemen Issue” sebagai ‘sebuah alat yang dapat digunakan oleh perusahaan untuk mengidentifikasi, menganalisa dan mengelola berbagai issue yang muncul ke permukaan (dalam suatu masyarakat populis yang mengalami perubahan tanpa henti) serta bereaksi terhadap berbagai issue tersebut SEBELUM issue-issue tersebut diketahui oleh masyarakat luas.’ (Regester & Larkin, 2003:38).

Pada 1992 dalam acara “Public Relations Colloquium” yang disponsori oleh firma PR dari Nuffer, Smith, Tucker, Inc. San Diego State University dan Northwestern University’s Medill Scholl of Journalism, sekelompok praktisi PR mengembangkan sebuah definisi yang beorientasi pada tujuan:

“Manajemen issue adalah proses manajemen yang tujuannya membantu melindungi pasar, mengurangi resiko, menciptakan kesempatan-kesempatan serta mengelola citra sebagai sebuah aset organisasi bagi manfaat keduanya, organisasi itu sendiri serta stakeholder utamanya, yakni pelanggan/konsumen, karyawan, masyarakat dan para pemegang saham”. (Caywood, 1997:173)

Para pakar PR Indonesia mengartikan manajemen issue sebagai “fungsi manajemen yang mengevaluasi sikap masyarakat, baik internal maupun eksternal, mengidentifikasi hal-hal atau masalah yang patut dikhawatirkan dan melakukan usaha-usaha ke arah perbaikan”. Selain itu, mereka juga mengartikannya sebagai “suatu usaha aktif untuk ikut serta mempengaruhi dan membentuk persepsi/pandangan/opini dan sikap masyarakat yang mempunyai dampak terhadap perusahaan”. (Wongsonagoro, 1995)

Pengertian Issue

Kita tidak akan mudah memahami terminologi “Manajemen Issue” di atas tanpa mengetahui apa yang sebenarnya dimaksud dengan issue (bukan terjemahan dari gossip/ rumour).

Menurut dua pakar di AS, Hainsworth dan Meng, sebuah issue muncul “sebagai suatu konsekuensi atas beberapa tindakan yang dilakukan, atau diusulkan untuk dilakukan, oleh satu atau beberapa pihak yang dapat menghasilkan negosiasi dan penyesuaian sektor swasta, kasus pengadilan sipil atau kriminal, atau dapat menjadi masalah kebijakan publik melalui tindakan legislative atau perundangan.” Chase & Jones menggambarkan “issue” sebagai ‘sebuah masalah yang belum terpecahkan yang siap diambil keputusannya’ (‘an unsettled matter which is ready for decision’). Pakar lain mengatakan bahwa dalam bentuk dasarnya, sebuah “issue“ dapat didefinisikan sebagai ‘sebuah titik konflik antara sebuah organisasi dengan satu atau lebih publiknya’ (‘a point of conflict between an organization and one or more of its audicences’). (Regester & Larkin, 2003:42).
Sementara Heath & Nelson (1986) mendefinisikan “issue” sebagai ‘suatu pertanyaan tentang fakta, nilai atau kebijakan yang dapat diperdebatkan’ (‘a contestable question of fact, value or policy’).

Definisi sederhana lainnya menurut Regester & Larkin (2003:42) bahwa sebuah “issue“ merepresentasikan ‘suatu kesenjangan antara praktek korporat dengan harapan-harapan para stakeholder’ (‘a gap between corporate practice and stakeholder expectations’). Dengan kata lain, sebuah issue yang timbul ke permukaan adalah suatu kondisi atau peristiwa, baik di dalam maupun di luar organisasi, yang jika dibiarkan akan mempunyai efek yang signifikan pada fungsi atau kinerja organisasi tersebut atau pada target-target organisasi tersebut di masa mendatang.

Dari berbagai definisi di atas, terlihatlah bahwa pengertian “issue” menjurus pada adanya masalah dalam suatu organisasi yang membutuhkan penanganan. Cara menangani issue tersebut yang pada akhirnya memunculkan teori dan proses “manajemen issue”.

Contoh-contoh yang menyebabkan perlunya manajemen issue termasuk prospektif bagi perundang-undangan yang baru, suatu opini atau klaim yang didukung oleh media ataupun saluran lainnya, perkembangan yang kompetitif, riset yang dipublikasikan, sebuah perubahan dalam kinerja atau kegiatan organisasi itu sendiri atau individu maupun kelompok yang terkait dengan organisasi tersebut.

Manajemen Issue & Krisis serta Hubungannya dengan Bidang PR

Seiring dengan kemajuan teknologi, industri media massa menjadi semakin beragam dan persaingan di antara mereka menjadi semakin ketat dalam memperoleh berita yang sensasional. Sudah menjadi rahasia umum bahwa biasanya berita yang menjadi topik hangat adalah berita yang mengandung suatu masalah yang kontroversial ataupun hal-hal buruk yang sedang menimpa seorang tokoh, sebuah organisasi/perusahaan hingga sebuah negara. Terutama bila issue yang muncul tersebut memiliki dampak tertentu (biasanya dampak yang buruk) pada masyarakat luas. Semakin hangat topik tersebut dibicarakan publik, semakin giat para wartawan menggali topik tersebut dan mengejar-ngejar para nara sumber.

Bayangkan bila Anda bekerja sebagai praktisi humas di sebuah perusahaan obat dan mendapati laporan media yang menghubungkan salah satu produk unggulan perusahaan Anda dengan kematian sejumlah konsumen produk tersebut. Saat seperti inilah yang menjadi tanda atau gejala munculnya sebuah krisis. Dan bila si praktisi humas tidak melakukan tindakan cepat untuk mengantisipasi berita tersebut, besar kemungkinan perusahaannya akan benar-benar menghadapi krisis yang dapat menghancurkan perusahaan.

Pengendalian dan pengelolaan issue serta krisis menjadi sebuah bidang khusus yang harus ditangani humas karena pada saat seperti ini reputasi perusahaan berada dalam taruhan.

Reaksi manajemen issue yang efektif berdasarkan pada dua aturan kunci: identifikasi awal dan reaksi yang terorganisir dalam mempengaruhi proses kebijakan publik. Yang harus diingat adalah bahwa mengelola issue seharusnya tidak dianggap sebagai kegiatan defensif. Sifat manajemen issue ini adalah proaktif karena manajemen issue adalah sebuah proses yang proaktif, antisipatoris serta terencana yang dirancang untuk mempengaruhi perkembangan sebuah issue sebelum issue tersebut berkembang ke tahap yang membutuhkan manajemen krisis.

PENTINGNYA MANAJEMEN ISSUE SERTA HUBUNGANNYA DENGAN REPUTASI ORGANISASI/PERUSAHAAN

Bila kita lanjutkan kasus di atas, ketika sang praktisi humas dan pihak manajemen perusahaan membiarkan issue yang diangkat oleh sebuah media tersebut berkembang, berarti mereka tengah mempertaruhkan reputasi perusahaannya dalam situasi yang berbahaya.

Perhatikan definisi PR atau humas yang terbaru dari IPR (the Institute of Public Relations) di Inggris berikut ini:

“PR berkaitan dengan reputasi – hasil dari apa yang kita lakukan, apa yang kita katakan dan apa yang dikatakan orang lain tentang kita.”

Dan berikut ini:

“Praktik PR adalah disiplin ilmu yang memelihara reputasi dengan tujuan untuk mendapatkan kesepahaman dan dukungan serta untuk mempengaruhi opini serta perilaku.”

Jelaslah bahwa tujuan utama dari segenap kegiatan PR dari suatu organisasi adalah membentuk reputasi organisasi tersebut dan memeliharanya agar mendapatkan kesepahaman dan dukungan dari publik yang ditujunya, serta mempengaruhi opini dan perilaku mereka terhadap organisasi. Dan yang harus terus diingat adalah bahwa reputasi ini sangat rapuh serta dapat hancur seketika akibat kata-kata atau tindakan yang tidak mencerminkan simpati atas suatu realita. Contoh yang paling nyata adalah Gerald Ratner, pemilik perusahaan perhiasan Ratners di Inggris yang menyebut produk yang dijual perusahaannya sebagai “sampah”. Akibat ucapannya yang dianggap meremehkan publik utama perusahaannya, yakni para pelanggan, reputasi perusahaannya hancur sehingga kedudukannya sebagai CEO harus diganti dan bahkan juga nama perusahaannya.

Kembali pada kasus perusahaan obat, si praktisi humas harus menyadari bahwa dengan pemberitaan yang makin sering di media massa akan menempatkan perusahaannya dalam penilaian publik. Masyarakat menunggu tindakan konkrit dari pihak manajemen perusahaan, terutama keluarga mereka yang menjadi korban. Adalah tugas dan tanggungjawab humas untuk merespon tuntutan publik tersebut. Dan bila issue ini tidak segera ditangani dengan baik, maka potensinya akan besar sekali untuk menjadi krisis. Dan jika krisis benar terjadi di perusahaan tersebut, maka reputasi perusahaan yang telah dibentuk dan diperlihara oleh si praktisi humas selama bertahun-tahun dapat hancur seketika. Sehingga jelaslah pentingnya manajemen issue bagi pemeliharaan reputasi perusahaan yang sudah susah payah dibentuk dan oleh si praktisi humas dan pihak manajemen perusahaan selama ini.

Riset akademis dan contoh-contoh studi kasus praktis menunjukkan bahwa penggunaan yang efektif atas teknik-teknik manajemen issue akan meningkatkan pangsa pasar, memperbaiki reputasi perusahaan/organisasi, menghemat keuangan serta membangun hubungan-hubungan yang penting. Sebaliknya, kegagalan dalam menerapkan manajemen issue akan membawa perusahaan pada erosi pangsa pasarnya, berdampak pada reputasinya, menderita kerugian, menempatkan perusahaan/organisasi dalam sorotan negatif serta mengurangi independensi perusahaan melalui peningkatan peraturan.

TAHAPAN ISSUE DAN HUBUNGANNYA DENGAN KRISIS

Menurut Hainsworth (Regester & Larkin, 2003:47), issue biasanya berkembang dalam cara yang dapat diprediksi, bersumber dari tren atau peristiwa yang berkembang melalui suatu rangkaian tingkatan yang dapat diidentifikasi serta tidak berbeda dari siklus perkembangan sebuah produk. Karena evolusi atau perkembangan sebuah issue sering menghasilkan kebijakan publik, semakin dini suatu issue yang relevan diidentifikasi dan dikelola dalam rangka respon organisasional yang sistematis, semakin mungkin organisasi tersebut dapat mengatasi konflik serta meminimalisir implikasi biaya demi keuntungannya. Karena itulah, memahami siklus perkembangan issue sangat penting.
Sedangkan trend (tren) menurut Howard Chase adalah perubahan yang terdeteksi yang mendahului issue.

Max Meng mengidentifikasi enam kelompok atau publik yang mungkin membuat issue: partner, asosiasi karyawan, masyarakat umum, pemerintah, media massa dan kelompok penekan/kelompok yang berkepentingan. Pengaruh mereka pada organisasi bervariasi dari mengontrol operasi perusahaan hingga membentuk koalisi internal dan eksternal untuk meningkatkan pengaruh potensial mereka atas sebuah issue. Jadi, ketika issue siap diambil keputusannya, respon organisasi dapat menjadi penting. Meng mengkategorikan issue kepada beberapa tipe: demografis, ekonomis, lingkungan, pemerintah, internasional, sikap publik, sumber daya, teknologis serta nilai dan gaya hidup.

Menurut Hainsworth, sebuah issue diciptakan sebagai sebuah ide yang memiliki dampak potensial pada beberapa organisasi atau publik yang mengakibatkan tindakan yang menyebabkan peningkatan kesadaran dan/atau reaksi pada bagian dari organisasi atau publik lainnya. Dalam sebuah model yang dikembangkan oleh Hainsworth & Meng (Regester & Larkin, 2003: 48), proses ini dapat digambarkan sebagai siklus yang terdiri dari empat tahap berikut: sumber, mediasi, organisasi dan resolusi.


SIKLUS KEHIDUPAN ISSUE

Sumber: Hainsworth & Meng


Dalam gambar “Siklus Kehidupan Issue” di atas, sumbu vertikal mereprentasikan tingkat tekanan yang dikenakan pada sebuah organisasi dengan mengembangkan suatu issue; sumbu horizontal merepresentasikan ragam tahapan perkembangan issue. Pada setiap tahap dari evolusi, tekanan pada organisasi meningkat untuk segera merespon akibat peningkatan kepentingan issue.

TAHAP 1 - Sumber: Issue Potensial

“Sebuah issue muncul ke permukaan ketika sebuah organisasi atau kelompok merasa berkepentingan terhadap suatu masalah (atau kesempatan) yang terlihat seperti konsekuensi perkembangan tren politik atau undang-undang, ekonomi dan sosial. (Crabble & Vibert, 1985). Dari sudut pandang manajemen, tren harus diidentifikasi sebagai asal kemunculan issue. Biasanya tren teridentifikasi di kalangan akademisi atau para pakar yang berpartisipasi dalam kelompok kerja, unit kebijakan dan perencanaan yang mungkin menyadari beberapa masalah, situasi atau peristiwa yang berpotensi memiliki dampak serta membutuhkan respon dari sebuah institusi, organisasi, industri atau kelompok lain.

Issue mulai menguat ketika suatu organisasi/kelompok berencana untuk melakukan sesuatu yang memiliki konsekuensi bagi orang atau kelompok lain. Kesadaran dan perhatian pada pihak suatu kelompok menyebabkan keputusan mereka untuk “melakukan sesuatu”. Di sini garis sudah tergambar dan konflik mulai timbul.

Jadi yang kita lihat dalam tahap awal ini adalah kondisi/peristiwa nyata yang mempunyai potensi untuk berkembang menjadi sesuatu yang penting. Bagaimanapun juga tipe issue yang ada dalam fase ini biasanya belum terlihat oleh para pakar atau perhatian publik, walaupun beberapa ahli sudah mulai menyadari kehadiran issue tersebut.

Pada tahap 1, beberapa kelompok atau individu secara umum mulai menetapkan suatu target kredibilitas tertentu dalam perhatian mereka serta mencari dukungan dari para pembentuk opini yang dapat terlibat pada tingkatan tertentu dalam masalah tersebut. Pada poin ini, umumnya mereka yang terlibat merasa sedikit sulit mengenali bahwa sebuah konflik mungkin timbul.


TAHAP 2 – Mediasi dan Penguatan Suara: Issue yang Muncul ke Permukaan

Ketika beberapa kelompok muncul dan garis telah tergambar, suatu proses mediasi dan penguatan suara hadir di antara para individu dan kelompok yang mungkin memiliki pandangan sama dan mungkin diharapkan untuk bereaksi dalam cara yang sama. Awalnya, hal ini terjadi di dalam media spesialis yang relevan dari kelompok-kelompok yang berkepentingan, industri, profesi dan lainnya dengan opini, nilai atau kepentingan yang dapat diperbandingkan. Ketika momentum terbentuk di dalam media massa, issue berkembang menjadi sebuah issue publik yang dapat menjadi bagian dari proses kebijakan publik.
Tahap pemunculan issue ini mengindikasikan peningkatan bertahap pada tingkat tekanan terhadap organisasi tersebut untuk menerima issue. Dalam banyak kasus, peningkatan ini adalah hasil dari kegiatan oleh satu atau beberapa kelompok ketika mereka mulai mendorong atau melegitimasi issue.

Pada tahap perkembangan issue ini, masih relatif mudah bagi organisasi untuk ikut campur dan memainkan peranan proaktif dalam pencegahan atau pengeksploitasian perkembangan issue tersebut. Bagaimanapun juga, sulit untuk menentukan apakah issue tersebut penting atau tidak, dan kadang-kadang issue tersebut dibiarkan menguap begitu saja karena manajemen lebih memperhatikan masalah lain yang dianggap lebih penting. Meski sulit untuk mengetahui apakah issue tersebut tak berkembang atau justru meningkat intensitasnya, namun pihak manajemen seharusnya tidak berdiam diri saja.

Faktor dominan dalam perkembangan issue dalam fase ini adalah liputan media. Sebelum issue mencapai tahap berikutnya, mereka yang terlibat kadang-kadang mencoba untuk menarik perhatian media sebagai alat untuk mempercepat perkembangan issue. Liputan ini akan menjadi faktor penting yang harus dipertimbangkan sebagai penyebab issue berkembang.

Tahap ini sangat penting karena memiliki efek mempercepat perkembangan issue. Karena itu sangat penting bagi perusahaan yang menjadi target untuk melakukan monitor yang reguler dan efektif terhadap lingkungan bisnis, peraturan perundangan dan sosial dalam rangka mengidentifikasi issue tahap 2 serta mulai memformulasikan rencana tindakan untuk mengelola issue tersebut.


TAHAP 3 – Organisasi: Issue yang Tengah Berlangsung dan Issue Krisis

Mediasi membawa tingkatan beragam terhadap organisasi. Posisi-posisi menguat. Beberapa kelompok mulai mencari resolusi atas konflik tersebut, baik resolusi yang dapat diterima menurut kepentingan mereka atau setidaknya yang dapat meminimalkan kerusakan potensial.

Dalam proses kebijakan publik, masyarakat atau para kelompok ini harus dilihat sebagai sesuatu yang dinamis. Seringkali mereka adalah kelompok-kelompok yang terdiri dari para individu dengan tingkat komitmen beragam yang menghadapi suatu problem yang sama, menyadari bahwa problem tersebut hadir dan mereka bersatu dengan beberapa cara untuk melakukan sesuatu terhadap problem tersebut. Kelompok-kelompok ini tidak statis dan tingkat organisasi mereka, pendanaan serta pengetahuan akan medianya sangat beragam. Mereka mungkin adalah jaringan informal yang terdiri dari orang-orang yang berbagi informasi melalui internet dalam mencari resolusi atas suatu konflik, atau mereka bisa sangat terorganisir, saling berhubungan dengan baik, serta didanai oleh suatu komitmen yang intens dan fokus.

Ketika kelompok-kelompok ini menggerakkan sudut pandang dan tujuan mereka serta mencari cara mengkomunikasikan posisi mereka, konflik mencapai tingkat yang terlihat oleh publik yang akhirnya mendorong issue tersebut ke dalam proses kebijakan publik. Selanjutnya, perhatian publik yang meningkat memotivasi para pemimpin berpengaruh untuk menjadi bagian dari konflik yang timbul dan tekanan terhadap institusi terkait untuk mencari resolusi atas konflik tersebut pun meningkat.

Pada fase “tengah berlangsung”, issue telah berkembang dan menunjukkan potensi penuh terhadap mereka yang terlibat. Menjadi sulit untuk mengubah issue karena ia sudah menjadi permanen dan menyebar dengan intensitas yang meninggi.

Pihak-pihak berbeda yang terlibat menyadari pentingnya issue tersebut dan sebagai respon, menekan institusi peraturan perundangan agar turut terlibat.

Seperti yang digambarkan oleh diagram siklus issue, hampir tidak ada waktu ketika issue berubah dari status “tengah berlangsung” menjadi “krisis” untuk mencapai institusi formal seperti otoritas peraturan perundangan yang memiliki kekuasaan untuk ikut campur dan memaksakan batasan terhadap organisasi/industri tersebut sebagai cara untuk meredakan situasi. Contohnya adalah ketika Exxon Corporation di tahun 1989 menumpahkan minyak mentah di perairan dekat California, A.S. sehingga mengakibatkan perubahan kebijakan publik bahwa setiap tanker pengangkut minyak mentah yang melewati laut harus dirancang memiliki dua badan kapal.

TAHAP 4 – Resolusi: Issue Laten

Sekali issue mendapatkan perhatian publik secara resmi dan memasuki proses kebijakan, baik melalui perubahan peraturan perundangan atau ketetapan, usaha untuk meredakan konflik menjadi lebih lama serta mahal. Objek dari proses kebijakan publik adalah pemaksaan atas pembatasan yang tidak dikondisikan kepada seluruh pihak terhadap konflik tersebut, baik untuk keuntungan atau untuk kerugian mereka.

Jadi sekali issue telah menjalani siklus penuh, ia akan mencapai ketinggian dari tekanan yang memaksa sebuah organisasi untuk menerimanya tanpa persiapan.

Akhirnya, sebuah issue yang dibiarkan saja atau terlambat diidentifikasi sehingga terlanjur berkembang dan mencapai siklus yang penuh akan berubah menjadi krisis.


DAFTAR REFERENSI
  • Caywood, Clarke L., Ph.d, Ed. The Handbook of Strategic Public Relations & Integrated Communications. U.S.A: McGraw-Hill, 1997.
  • Chase, W. Howard. Issue Management: origins of the future. U.S.A.: Issue Actions Publications Inc., 1984.
  • Crable, R.E., Vibert, S.L., ‘Managing Issues & Influencing Public Policy’, Public relations Review, Summer 1985.
  • Gregory, Anne. Perencanaan dan Manajemen Kampanye Public Relations. Terjemahan Dewi Damayanti, S.S., M.Sc. Jakarta: Penerbit Erlangga, 2004.
  • Heath, R.L., Nelson, R.A., Issue Management. Newbury Park: 1986.
  • Kasali, Rhenald. Manajemen Public Relations: Konsep dan Aplikasinya di Indonesia. Jakarta: PT. Pusaka Utama Grafiti, 2003.
  • Putra, I Gusti Ngurah. Manajemen Hubungan Masyarakat. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 1999.
  • Regester, Michael, Judy Larkin. Risk Issues and Crisis Management in Public Relations. New Delhi: Crest Publishing House, 2003.
  • White, John, Laura Mazur. Strategic Communications Management: Making Public Relations Work. Great Britain: Addison-Wesley Publishers Ltd., 1995.
  • Wongsonagoro, Maria. “Crisis Management & Issues Management” (The Basics of Public Relations). Jakarta: IPM Public Relations, 24 Juni 1995.