SISTEM KOMUNIKASI INDONESIA

Redi Panuju (1997), mengisyaratkan untuk mempelajari sistem komunikasi Indonesia haruslah membahas dua hal. Yaitu: Pertama, Sistem komunikasi Indonesia mempunyai makna pola-pola komunikasi yang secara idealistik dan normatif diharapkan ada dan terjadi di Indonesia. Bahasan mengacu pada nilai-nilai, norma-norma, dan hukum yang merumuskan bagaimana seharusnya komunikasi dijalankan atau terjadi. Kedua, sistem komunikasi Indonesia mempunyai makna deskriptif dari gejala komunikasi yang aktual, sedang terjadi di Indonesia. Bahasan mengacu kepada fakta-fakta empiris yang secara objektif benar-benar ada atau terjadi.


A. Nilai-nilai dan norma sosial

Segala hal yang dianggap bernilai tinggi bagi kehidupan individu sebagai anggota masyarakat disebut nilai hidup. Nilai hidup merupakan pedoman tertinggi bagi pikiran, perasaan, sikap dan tingkah laku di dalam masyarakat. Soekandar Wiriatmaja mengemukakan, bahwa nilai hidup diartikan sebagai suatu kesanggupan (kapasitas) suatu barang, gagasan maupun isi pengalaman yang dapat memenuhi keinginan manusia dan dijadikan pegangan hidupnya.

Bisa juga terjadi bahwa nilai hidup itu serupa bagi suatu kelompok manusia, karena mereka telah mengalami proses sosialisasi yang sama dalam kebudayaan yang sama. Jadi ada nilai hidup perorangan, nilai hidup suatu kelompok dan nilai hidup suatu masyarakat. Nilai hidup tersebut tidak tampak, tetapi tercermin pada tingkah laku seseorang dan memberikan arah dan bentuk kepada tingkah laku orang tersebut.

Jalan pikiran individu dan perasaannya, telah ada sejak kanak-kanak diresapi nilai-nilai hidup. Isinya telah berurat akar di dalam batin atau hati nurani individu sedemikian rupa, sehingga yang bersangkutan memahami mana yang baik dan mana yang buruk, yang cocok dan yang tidak cocok yang diperkenankan untuk dilakukan dan yang dilarang dan lain sebagainya. Oleh karena telah berurat akar, atau telah meresap sangat dalam, nilai hidup sangat lambat atau sulit berubah. Isi dari nilai hidup tersebut biasanya antara lain mencakup :

a. Nilai kepercayaan. Umpamanya, kepercayaan kepada hal-hal yang gaib (seperti makhluk halus, dewa-dewi, hal-hal yang keramat dan bertuah dan lain-lain) dan keagamaan (religi).

b. Nilai pandangan (falsafah) hidup. Umpamanya, bagaimana pandangan dalam berinteraksi dengan alam (apakah harus tunduk, menyelaraskan diri atau harus menaklukkan alam), pandangan terhadap waktu (apakah berpedoman pada waktu lampau, waktu sekarang atau waktu yang akan datang), hakikat kerja (bekerja untuk apa selama hidup ini), dan sebagainya.

c. Nilai pergaulan hidup. Umpamanya, sopan santun (tata krama), budi pekerti, tolong menolong dan lain-lain.


Batasan-batasan yang tumbuh dalam masyarakat untuk mengatur tertib tingkah laku hubungan atau interaksi dinamakan norma sosial. Bentuknya dapat tertulis maupun tidak tertulis. Menurut Bouman (1976) norma sosial diartikan sebagai suatu peraturan umum mengenai kelakuan atau perbuatan yang didasari oleh pertimbangan-pertimbangan kesusilaan, kebiasaan atau paham yang sehat. Karl Manheim mengemukakan norma sosial sebagai lampu pengatur lalu lintas yang mengatur dan menghindarkan kekacaubalauan.

Agar anggota masyarakat menaati segala norma yang ada dalam masyarakat bersangkutan, maka dibuatlah sanksi-sanksi. Bentuk sanksi tersebut dapat berupa penghargaan dan dapat juga berupa hukuman masyarakat yang disebut juga sanksi sosial. Penghargaan masyarakat diberikan kepada anggotanya yang selalu menaati norma sosial. Misalnya dalam bentuk pujian “dia orang yang taat atau disiplin” dan sebagainya, walaupun yang bersangkutan mungkin tidak mengharapkannya.

Norma sosial sangat penting bagi keutuhan masyarakat. Sebab dengan norma sosial semua anggota masyarakat dapat mengatur cara hidupnya secara harmonis dan tidak bertentangan satu sama lain. Sehubungan dengan kekuatan norma beserta sanksinya, dikenal adanya empat klasifikasi sebagai berikut:

1. Cara (usage), menunjukkan pada suatu bentuk perbuatan daya pengikat norma ini sangat lemah, bahkan tidak mengikat sama sekali. Norma ini lebih menonjol di dalam hubungan antara individu dalam masyarakat.

2. Kebiasaan (folksways), diartikan sebagai suatu perbuatan yang diulang dalam bentuk yang sama, merupakan suatu bukti bahwa orang banyak menyukai perbuatan tersebut. Kekuatan mengikatnya lebih besar daripada norma cara.

3. Tata kelakuan (mores), daya pengikat norma ini lebih kuat jika dibandingkan dengan norma kebiasaan. Dengan demikian sanksi bagi tata kelakuan juga lebih kuat mengikat anggota masyarakat. Suatu kebiasaan yang tidak semata-mata dianggap sebagai cara berperilaku, akan tetapi juga diterima sebagai norma pengatur, dinamakan tata kelakuan. Tata kelakuan mencerminkan sifat-sifat yang hidup dari kelompok manusia yang dilaksanakan sebagai alat pengawas, secara sadar maupun tidak sadar oleh masyarakat terhadap anggotanya. Tata kelakuan itu satu pihak memaksakan suatu perbuatan dan di lain pihak melarangnya. Dengan begitu, secara langsung anggota masyarakat menyesuaikan perbuatan-perbuatannya dengan tata kelakuan tersebut.

4. Adat istiadat (customs), diartikan sebagai suatu tata kelakuan yang kekal serta kuat integrasinya dengan pola-pola perikelakuan masyarakat. Anggota masyarakat yang melanggar adat istiadat, akan menderita sanksi yang keras.


Masyarakat Indonesia, seperti yang disampaikan Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika (dalam kuliah umum Jurusan Komunikasi Universitas Nasional, 9 maret 2005) , terdiri dari masyarakat agraris, industri, dan informasi. Hal ini dapat dimaknai bahwa di masyarakat Indonesia terdapat beragam nilai-nilai. Masyarakat agraris yang berada pada wilayah pedesaan tentu saja masih menganut nilai-nilai tradisional, misal nilai kolektivis. Pada masyarakat industri dan informasi nilai-nilai tradisional sudah mulai menipis akibat dari proses akulturasi antara budaya tradisional dengan budaya modern (budaya masyarakat industri, dan informasi), berganti dengan nilai individualistik (kesetaraan).


B. Hubungan antara nilai-nilai dan komunikasi.

Dalam hubungan dengan komunikasi, nilai-nilai (juga norma-norma sosial) mempunyai hubungan yang sangat signifikan. Eillers (1995) merumuskannya sebagai berikut:

1. Nilai-nilai disampaikan secara implisit dan eksplisit melalui tingkah laku simbolis. Kebanyakan dari tingkah laku manusia melambangkan dan merupakan ekpresi nilai-nilai yang kita terima dari belajar atau proses pembudayaan. Tingkah laku itu terutama diungkapkan melalui komunikasi nonverbal dan juga komunikasi verbal.

2. Cara berkomunikasi dipengaruhi oleh nilai-nilai yang dianut. Bagaimana memutuskan alat yang digunakan, cara menggunakan, menyandi pesan dipengaruhi oleh nilai-nilai. Anita Taylor (dalam Jallaluddin Rakhmat, 1994) menemukan bahwa nilai-nilai mempengaruhi komunikasi dalam hal: terpaan selektif (selective exposure); persepsi selektif (selective perception); ingatan selektif (selective attention); dan penyandian selektif (selective encoding).


C. Hukum dalam sistem komunikasi Indonesia

Sistem komunikasi Indonesia mempunyai dasar hukum. Secara tersirat terdapat dalam mukadimah UUD 1945 khususnya pada alinea ke empat. Secara tersurat terdapat pada pasal 28F yang berbunyi:

Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.

Selain diatur dalam hukum dasar negara Indonesia, peraturan dalam berkomunikasi dapat mengacu pada: Undang-undang 32 tahun 2002; Undang-undang 40 tahun 1999; Undang-undang 36 tahun 1999; Undang-undang 8 tahun 1992; KUHP (terdapat beberapa pasal yang mengatur tentang komunikasi) dan sebagainya.

D. Fungsi sistem komunikasi Indonesia

Sistem komunikasi haruslah mampu menjalankan fungsi dari pada komunikasi. Lasswell (dalam Nurudin, 2004), menyatakan bahwa fungsi dari komunikasi adalah :

a. Pengawasan lingkungan

b. Menghubungkan bagian-bagian yang terpisah dari masyarakat untuk menanggapi lingkungannya

c. Menurunkan warisan sosial dari generasi ke generasi berikutnya.

Dalam UU 40 tahun 1999 pada pasal 3 dijelaskan tentang fungsi dari sub sistem komunikasi Indonesia ini adalah:

1. Pers Nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial.

2. Di samping fungsi-fungsi tersebut ayat (1), pers nasional dapat berfungsi sebagai lembaga ekonomi.


Sedangkan peranan dari subsistem komunikasi Indonesia ini adalah sebagai berikut:

a. memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui;

b. menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan Hak Asasi Manusia, serta meghormati kebhinekaan;

c. mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar;

d. melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum;

e. memperjuangkan keadilan dan kebenaran.


E. Deskripsi sistem komunikasi Indonesia

Nurudin (2004), mendeskripsikan sistem komunikasi Indonesia sebagai berikut:

1. Jika ditinjau dari masyarakat yang mendiami suatu wilayah, terdapat sistem komunikasi pedesaan dengan budaya tradisionalnya, dan sistem komunikasi perkotaan dengan budaya akulturasi antara budaya tradisional dengan budaya modern. Pada masyarakat pedesaan, sistem komunikasi sangat dipengaruhi oleh keberadaan pemimpin pendapat. Pemimpin pendapat menjalankan fungsinya sebagai penerjemah pesan, intrprtator karena kelebihannya dibanding masyarakat kebanyakan.Masyarakat perkotaan, sistem komunikasi dipengaruhi oleh keberadaan media massa.

2. Jika ditinjau dari media yang digunakan, ada sistem media cetak (surat kabar, tabloid, majalah); elektrolit (radio, televisi); media tradisional (wayang,kethoprak, ludruk, lenong, dan sebagainya).

3. Jika ditinjau dari pola komunikasinya, ada sistem komunikasi dengan diri sendiri, komunikasi antarpersona, komunkasi kelompok, komunikasi organisasi, dan komunikasi massa.




Buku acuan

Redi Panuju, 1997, Sistem Komunikasi Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogjakarta

Nurudin, 2004, Sistem Komunikasi Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta

Jallaluddin Rakhmat, 1994, Psikologi Komunikasi, Remaja Rosdakarya, Bandung

Eillers, 1995, Berkomunikasi Antarbudaya, Nusa Indah, Flores

Undang-undang nomer 40 tahun 1999.