A. Model Proses Komunikasi Massa
Dalam proses komunikasi dikenal empat model arus arus alir pesan, yakni: model jarum injeksi; model alir satu tahap; model alur dua tahap; dan model alir banyak tahap (Sarjono, dalam Nurudin 2004). Masing-masing model mempunyai ciri khas dan pola yang berbeda satu sama lain sehingga berbeda pula dalam arus peredaran komunikasinya.
Model jarum injeksi. Model ini mengatakan arus komunikasi berjalan satu arah, dari media massa ke khalayak. Dasar pemikiran ini beranggapan bahwa khalayak bersikap pasif terhadap berbagai informasi yang disiarkan media massa, dan media massa mempunyai kekuatan yang besar dalam mempengaruhi khalayak. Elihu Katz (dalam Nurudin, 2004) menyebutkan ciri-ciri dari model ini: 1. media massa media massa mempunyai kekuatan yang luar biasa untuk memperdaya khalayaknya; 2. mass audience dianggap seperti atom-atom yang terpisah satu sama lain serta tidak saling berhubungan dengan media massa. Kalaupun individu-individu dalam mass audience mempunyai pendapat yang sama tentang suatu persoalan, hal ini bukan karena mereka berhubungan atau berkomunikasi satu dengan yang lain, melainkan karena mereka memperoleh pesan yang sama dari satu media.
Model alir satu tahap. Model ini hampir menyerupai model jarum injeksi. Kesamaannya, saluran media massa langsung berhubungan dengan khalayaknya. Perbedaannya antara dua model ini adalah sebagai berikut: a. Model alir satu tahap mengakui media massa bukanlah all powerfull dan tidak semua media mempunyai kekuatan yang sama. Sedangkan model jarum injeksi mengakui media massa adalah all powerfull dalam mempengaruhi khalayaknya; b. Model jarum alir satu tahap memaklumi adanya proses seleksi pesan yang berbeda-beda antar individu, model jarum injeksi beranggapan sistem seleksi pada khalayak adalah sama; c. Model alir satu tahap mengakui adanya perbedaan efek yang terjadi pada khalayak, model jarum injeksi berasumsi bahwa pesan yang sama akan menimbulkan efek yang sama pula.
Model alir dua tahap. Model ini mengasunsikan bahwa pesan-pesan media massa tidak seluruhnya langsung mengenai khalayak. Tahap pertama adalah pesan media kepada pemimpin pendapat (opinion leader), sedangkan tahap kedua adalah pesan pemimpin pendapat kepada pengikut-pengikutnya (followers). Asumsi model ini adalah para follower dianggap tidak banyak bersentuhan dengan media massa, sedangkan pemimpin pendapat lebih banyak bersentuhan dengan media massa. Juga pemimpin pendapat dianggap lebih (karena mempunyai kelebihan) dibanding follower-nya.
Model alir banyak tahap. Pada prinsipnya, model ini merupakan gabungan dari semua model yang sudah disebutkan di atas. Model ini menyatakan bahwa pesan-pesan media massa menyebar ke khalayak melalui interaksi yang kompleks. Media mencapai khalayak dapat scara langsung atau tidak langsung melalui relaying (penerusan) secara beranting, baik melalui pemimpin pendapat-pemimpin pendapat maupun melalui situasi saling berhubungan antara sesama anggota khalayak.
B. Jaringan komunikasi
Perubahan perspektif teoritikal dalam komunikasi interpersonal memerlukan seperangkat metode penelitian baru. Unit analisis berubah dari individu ke hubungan di antara individu-individu itu. Suatu seperangkat hubungan yang mungkin ada disebut sebagai personal network. Istilah ini menunjukkan lingkaran pergaulan langsung seseorang pada suatu topik tertentu, seperti nutrisi bayi atau pemasaran hasil-hasil pertanian. Dengan kata lain, network seseorang dapat bervariasi tergantung pada topik yang didiskusikan.
Disamping itu, orang-orang tertentu mungkin saja menjadi pemimpin pendapat-pemimpin pendapat pada topik tertentu, tetapi tidak pada topik yang lain. Mereka mungkin dapat mempengaruhi orang-orang lain pada apresiasi musik, misalnya, akan tetapi tidak pada isu bagaimana menanam cengkeh.
Analisis personal network dalam suatu sistem sosial disebut sebagai analisis jaringan sosial (social network analysis). Sistem sosial ini mungkin saja sebuah desa, sebuah perusahaan, sebuah organisasi kompleks, atau yang lain lagi. Hubungan-hubungan yang terdapat di antara orang-orang dan diantara klik-klik pada suatu topik tertentu dapat diungkapkan dengan teknik sosiometri. Metode-metode penyelidikan ini didasarkan pada penemuan ”siapa berinteraksi dengan siapa”.
Responden-responden dalam suatu sistem sosial dapat diwawancarai untuk mengukur kekuatan hubungan sosial mereka, misal dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan: dengan siapa mereka mendiskusikan suatu topik, sesering apakah mereka mendiskusikan topik tersebut dengan orang orang atau orang-orang yang telah mereka sebutkan tadi. Tidak seperti riset survei yang mengambil suatu sampel yang dapat mewakili populasi yang diselidiki, riset jaringan sosial melibatkan populasi itu sendiri. Hal ini menunjukkan siapa yang berkomunikasi dengan siapa, apakah komunikasi itu timbal balik, ke dalam klik mana mereka bergabung (jika ada), dan bagaimana klik-klik yang berbeda berhubungan satu sama lain. Dalam suatu sistem sosial, beberapa anggota mungkin saja tidak berhubungan dengan orang-orang lain. Individu ini disebut isolat.
Sosiogram, dalam batas-batas tertentu, menyajikan suatu gambaran interaksi dalam suatu jaringan sosial. Untuk suatu kelompok yang cukup kecil dan sedikit interkasi, sosiogram dapat sangat berguna untuk menelusuri aliran informasi ataupun difusi inivasi(Hernando Gonzales, dalam Amri Jahi 1988).
Karena analisis jaringan sosial menggunakan populasi, dan bukan sampel, maka setiap studi kasus yang dilakukan bersifat unik dan tidak mudah digeneralisasikan. Selain itu, penemuan-penemuan itu sendiri biasanya bersifat terbatas pada suatu butir waktu tertentu. Oleh karena itu, pengukuran jaringan sosial dari waktu ke waktu berharga, seperti bidang-bidang riset komunikasi yang lain.
George Simmel (1922) meletakkan dasar bagi riset jaringan sosial dengan bukunya, The Web of Group-Affiliations. Ia menerangkan bagaimana perilaku seseorang dipengaruhi oleh afiliasinya dalam lingkaran-lingkaran sosial (jaringan sosial). Bukti nyata tentang efek jaringan sosial pada perubahan perilaku seseorang, antara lain diperoleh dari beberapa studi tentang pengadopsian cara-cara keluarga berencana di desa-desa Korea Selatan, penyembuhan penderita penyakit jantung di Amerika Serikat, dan penggunaan kelompok untuk membentuk perilaku individu yang dikehendaki masyarakat Cina (Hernando Gonzales, dalam Amri Jahi 1988).
Penelitian difusi menemukan bahwa orang-orang sering berkomunikasi dengan orang-orang lain lain yang memiliki karakteristik serupa. Karakteristik yang serupa ini dapat saja bersifat demografik, seperti umur, kelamin, pendidikan, dan pekerjaan. Tetapi, ketika masyarakat menjadi semakin kompleks, atribut psikografik seperti kesamaan dalam tata nilai dan gaya hidup menjadi lebih penting daripada indikator-indikator status sosial ekonomi saja. Istilah sosiologi yang dipakai untuk menunjukkan keserupaan di antara orang-orang itu ialah homofili. Studi-studi difusi juga menunjukkan bahwa orang-orang yang tidak memiliki kesamaan cenderung kurang berkomunikasi satu sama lain. Perbedaan-perbedaan ini dapat juga dikemukakan secara demografik ataupun psikografik. Ketidaksamaan di antara orang-orang itu juga disebut sebagai heterofili.
C. Pemimpin pendapat
Istilah pemimpin pendapat menjadi perbincangan dalam literatur komunikasi sekitar tahun 1950-1960an. Sebelumnya dalam literatur komunikasi sering digunakan kata-kata influentials, influencers atau tastemakers untuk menyebut pemimpin pendapat. Kata pemimpin pendapat kemudian lekat pada kondisi masyarakat di pedesaan, sebab tingkat media exposure-nya masih rendah dan tingkat pendidikan masyarakat yang masih memprihatinkan. Akses ke media lebih dimungkinkan dari mereka yang memiliki tingkat pemahaman tinggi dan kebutuhan akan media tidak rendah. Melalui informasi dari merekalah kadang perkembangan kontemporer diketahui masyarakat. Mereka secara tidak langsung menjadi perantara (bahkan penerjemah pesan) berbagai informasi yang diterima olehnya kemudian diteruskan kepada masyarakat. Pihak yang sering terkena media exposure di masyarakat desa kadang diperankan olehpemimpin pendapat. Mereka ini sangat dipercaya disamping juga menjadi panutan, tempat bertanya dan meminta nasihat bagi anggota masyarakat.
Pemimpin pendapat biasanya berbeda dari follower mereka dalam beberapa hal dan mereka cenderung berinteraksi dengan follower yang ciri-cirinya mirip dengan mereka sendiri. Penelitian-penelitian empiris baik di negara maju maupun negara yang belum maju menunjukkan kontak anggota masyarakat dengan pemimpin pendapat lebih sering terjadi dengan yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
Berstatus sosial yang lebih tinggi.
Partisipasi sosialnya tinggi.
Lebih tinggi pendidikan dan tingkat kemelekhurufannya.
Lebih kosmopolitan (Rogers dan Shoemakers, 1983).
Ada dua pengelompokan pemimpin pendapat berdasarkan aktif dan tidaknya dalam perilaku. Pertama, pemimpin pendapat aktif (opinion giving), yaitu pemimpin pendapat yang sengaja mencari penerima atau follower untuk mengumumkan atau mensosialisasikan suatu informasi. Kedua pemimpin pendapat pasif (opinion seeking), yaitu pemimpin pendapat yang dicari oleh followernya. Dalam hal ini follower aktif mencari sumber informasi kepada pemimpin pendapat sehubungan dengan permasalahan yang sedang dihadapi.
Merton (1946) menyatakan bahwa ditinjau dari penguasaan materinya, pemimpin pendapat dapat digolongkan menjadi menjadi dua. Pertama monomorfik, yaitu pemimpin pendapat yang hanya menguasai satu permasalahan saja. Kedua, polimorfik yaitu pemimpin pendapat yang menguasai lebih dari satu permasalah.
Nurudin (2004) mengemukakan beberapa ciri pemimpin pendapat beserta proses komunikasinya yang dijalankannya sebaga berikut:
Komunikasi interpersonal mempunyai struktur jaringan yang lebih (umpamanya kerabat, keluarga besar, suku, dan sebagainya) yang sangat kuat, karena ikatan yang telah lama ada, kebiasaan-kebiasaan setempat yang telah lama tertanam, dan setiap struktur ini mempunyai pemimpin-pemimpin pendapat.
Komunikasi dalam masyarakat Indonesia ditandai oleh ciri-ciri sistem komunikasi feodal. Ada garis hierarki yang ketat sebagai bawaan dari sistem sosial tradisional, pemuka pendapat sudah tentu dan mempunyai pengaruh yang jelas sementara arus komunikasi cenderung berjalan satu arah.
Pemimpin pendapat-pemimpin pendapat dianggap telah dikenali dan dapat diketahui dengan mudah dari fungsi mereka masing-masing dalam pranata-pranata informal yang telah berakar dalam masyarakat seperti alim ulama, pemuka adat, guru swasta, atau pendidikan informal, dukun, dan sebagainya.
Sejalan dengan itu jaringan komunikasi yang ada dalam masyarakat juga dengan sendirinya dianggap telah dikenali pula, yaitu jaringan yang berkaitan dengan masing-masing jenis pranata atau pemimpin pendapat tersebut, seperti jaringan atau jalur komunikasi keagamaan, adat, pendidikan formal, kesehatan tradisional, dan lain-lain sebagainya.
Pemimpin pendapat-pemimpin pendapat tidak hanya mereka yang memegang fungsi dalam pranata informal masyarakat tetapi juga pemimpin formal, termasuk yang menempati kedudukan karena ditunjuk dari luar (pamong praja, dokter, penyuluh pertanian, dan sebagainya).
Pemimpin pendapat di Indonesia dianggap bersifat polimorfik, yaitu serba tahu atau tempat menanyakan segala hal. Adanya asumsi ini terlihat dari kecenderungan untuk menyalurkan segala macam informasi (politik, pertanian, keluarga berencana, wabah, dan sebagainya) kepada para pemimpin pendapat yang sama.
Pemimpin pendapat pasti akan meneruskan informasi yang diterimanya kepada pengikutnya, meskipun dengan perubahan-perubahan. Terkandung pula dalam hal ini adalah bahwa pemimpin pendapat cukup dengan dengan jaringan pengikutnya.
A. Pemimpin pendapat dalam Sistem Komunikasi
Tidak bisa dipungkiri, bahwa pemimpin pendapat menjadi salah satu unsur yang sangat mempengaruhi arus komunikasi, khususnya di pedesaan. Berbagai perubahan dan kemajuan masyarakat sangat ditentukan oleh peran pemimpin pendapat ini. Misal, pemimpin pendapat dapat berperan memotivasi masyarakat agar ikut serta aktif dalam pengalaman pembangunan. Untuk itulah selayaknya pemerintah memberikan perhatian khusus kepada pemimpin pendapat ini. Ketidak mampuan dalam mempengaruhi pemimpin pendapat pada akhirnya akan berdampak negatif terhadap program yang sedang dijalankan. Di Peru pernah dilakukan kampanye inovasi kesehatan kepada penduduk desa yang dilakukan oleh sebuah lembaga pelayanan kesehatan. Lembaga ini telah berhasil mengkampanyekan program tersebut di Amerika Latin dengan cara memotivasi penduduk untuk membuat jamban, membakar sampah, melaporkan kasus-kasus penyakit yang mencurigakan ke Puskemas dan memasak air. Dalam kasus ini diketemukan bahwa peran pemimpin pendapat sangat signifikan terhadap suksesnya program (Rogers dan Shoemakers, 1983).
Peran pemimpin pendapat dalam kehidupan sosial di Indonesia juga tidak bisa dibilang rendah. Karena pemimpin pendapat sangat dipercaya masyarakatnya, ia ikut menentukan berbagai perilaku masyarakat. Di Indonesia, pemimpin pendapat ikut menentukan apakah program Keluarga Berencana (KB) yang dikampanyekan pemerintah tahun 1970-an sukses atau tidak. Nyata bahwa kesuksesan program KB tidak lepas dari peran pemimpin pendapat (Nurudin, 2004). Di sebuah kantor Kepala Desa di Patalan, Jetis, Bantul Yogyakarta para kiai dan tokoh masyarakat lain dipakai sebagai program kampanye untuk mendukung gerakan program KB pemerintah. Bahwa KB adalah halal dan sah. Kampanye lewat tulisan ini penting agar masyarakat yang semula ragu terhadap program KB tidak sangsi memakai alat kontrasepsi.
Clifford Geertz dalam The Javanese Kiai: The Changing Roles of A Cultural Broker Comparative Studies in Society and History, mengatakan bahwa kiai hanya berperan sebagai makelar budaya (cultural broker). Ini artinya, pengaruh kiai hanya terletak pada pelaksanaan fungsi makelar. Bahkan secara politis kiai yang tidak mempunyai pengalaman dan keahlian tak mampu memimpin dengan hubungan masyarakat-bangsa yang modern. Tetapi, tesis ini ini sudah banyak digugat oleh banyak banyak peneliti, salah satunya adalah Hiroko Horikoshi (1976) yang menyatakan bahwa kiai telah berperan sebagai pengambil keputusan menggerakkan orang desa untuk mendukung keputusan masyarakat. Kiai berperan dalam perubahan social dengan keunggulan kreativitasnya yakni adaptif-kreatif dengan kemampuannya memeliharta yang baik tradisi lama dan mengambil yang lebih baik dari perubahan yang baru (Munandar Sulaiman, dalam Nurudin 2004).sehingga, dalam hal ini secara langsung atau tidak kiai telah berperan dalam memelihara keteraturan social dan kontinuitas social.
Kekuatan kiai yang sedemikian besar tersebut jelas akan ikut mempengaruhi pola komunikasi yang dijalankan pada masyarakat pedesaan. Karisma kiai sebagai pemimpin pendapat akan memberi sumbangan besar bagi aliran komunikasi dari kiai ke masyarakat atau sebaliknya dan antaranggota masyarakat. Ini artinya, jika kiai sudah bilang tidak untuk diadakannya suatu perubahan sosial di masyarakat, maka masyarakat atau pengikutnya akan mengatakan yang serupa. Tak bisa dipungkiri bahwa kiai penentu proses komunikasi di masyarakat. Moenandar Soelaiman menyatakan bahwa kekuatan kiai sebagai pemimpin pendapat dapat dilihat dari dua hal:
Memiliki kemampuan perasaan kemasyarakatan yang dalam dan tinggi.Kiai mempunyai kekuatan yang tingi dalam mempengaruhi anggota masyarakat, karena bisa memahami apa yang dibutuhkan dan diinginkan masyarakatnya. Ia sanggup menjawab berbagai macam persoalan yang ingin diketahui oleh masyarakat. Ia juga mampu mengasuh masyarakat dengan menunjukkan mana yang benar dan mana yang salah.
Selalu melandaskan sesuatu pada kesepakatan bersama. Kiai dianggap orang yang mempunyai pengaruh karena keilmuannya. Ia ahli dalam bidang agama sehingga dibutuhkan oleh masyarakat. Bahkan ia menjadi patron masyarakat atau ia sanggup melayani kliennya (masyarakat). Ia juga bisa berperan sebagai pressure group dan ruling class di pedesaan. Ia mampu menolak kebijakan pemerintah yang bertolak belakang dengan adat istiadat, aspirasi, atau norma di wilayahnya. Ia dengan kemampuan kharismatisnya melakukan perlawanan (pressure group) terhadap suatu kebijakan.
Daftar Acuan
Amri Jahi (penyunting), Komunikasi Massa dan Pembangunan Pedesaan di Negara-negara Dunia Ketiga, Gramedia, Jakarta, 1988.
Nurudin, Sistem Komunikasi Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2004.
Manfred Oepen, (ed.), Development Support Communication in Indonesia, dalam Umar Basalim, penerjemah, Media Rakyat, Komunikasi Pengembangan Masyarakat, P3M, Jakarta, 1988.
Rogers dan Shoemaker, Communication of Invation, dalam Abdillah Hanafi, pernerjemah, Memasyarakatkan Ide-ide Baru, Usaha Nasional, Surabaya, 1987.