A. Pengertian Media Tradisional
Dongeng adalah salah satu media tradisional yang pernah popular di Indonesia. Pada masa silam, kesempatan untuk mendengarkan dongeng tersebut selalu ada, karena merupakan bagian dari kebudayaan lisan di Indonesia. Bagi para ibu mendongeng merupakan cara berkomunikasi dengan putra-putri mereka, terutama untuk menanamkan nilai-nilai sosial, yang diturunkan dari generasi ke generasi.
Di berbagai daerah di Indonesia, media komunikasi tradisional tampil dalam berbagai bentuk dan sifat, sejalan dengan variasi kebudayaan yang ada di daerah-daerah itu. Misalnya, tudung sipulung (duduk bersama), ma’bulo sibatang (kumpul bersama dalam sebuah pondok bambu) di Sulawesi Selatan (Abdul Muis, 1984) dan selapanan (peringatan pada hari ke-35 kelahiran) di Jawa Tengah, boleh dikemukan sebagai beberapa contoh media tradisional di kedua daerah ini. Di samping itu, boleh juga ditunjukkan sebuah instrumen tradisional seperti kentongan yang masih banyak digunakan di Jawa. Instrumen ini dapat digunakan untuk mengkomunikasikan pesan-pesan yang mengandung makna yang berbeda, seperti adanya kematian, kecelakaan, kebakaran, pencurian dan sebagainya, kepada seluruh warga masyarakat desa, jika ia dibunyikan dengan irama-irama tertentu.
Media tradisional dikenal juga sebagai media rakyat. Dalam pengertian yang lebih sempit, media ini sering juga disebut sebagai kesenian rakyat. Dalam hubungan ini Coseteng dan Nemenzo (dalam Jahi, 1988) mendefinisikan media tradisional sebagai bentuk-bentuk verbal, gerakan, lisan dan visual yang dikenal atau diakrabi rakyat, diterima oleh mereka, dan diperdengarkan atau dipertunjukkan oleh dan/atau untuk mereka dengan maksud menghibur, memaklumkan, menjelaskan, mengajar, dan mendidik.
Sejalan dengan definisi ini, maka media rakyat tampil dalam bentuk nyayian rakyat, tarian rakyat, musik instrumental rakyat, drama rakyat, pidato rakyat- yaitu semua kesenian rakyat apakah berupa produk sastra, visual ataupun pertunjukkan- yang diteruskan dari generasi ke generasi (Clavel dalam Jahi, 1988).
B. Ragam Media Tradisional
Nurudin (2004) mengatakan bahwa membicarakan media tradisional tidak bisa dipisahkan dari seni tradisional, yakni suatu bentuk kesenian yang digali dari cerita-cerita rakyat dengan memakai media tradisional. Media tradisional sering disebut sebagai bentuk folklor. Bentuk-bentuk folklor tersebut antara lain:
a. Cerita prosa rakyat (mite, legenda, dongeng);
b. Ungkapan rakyat (peribahasa, pemeo, pepatah);
c. Puisi rakyat;
d. Nyayian rakyat;
e. Teater rakyat;
f. Gerak isyarat (memicingkan mata tanda cinta);
g. Alat pengingat (mengirim sisrih berarti meminang); dan
h. Alat bunyi-bunyian (kentongan, gong, bedug dan lain-lain).
Ditinjau dari aktualitasinya, ada seni tradisional seperti wayang purwa, wayang golek, ludruk, kethoprak, dan sebagainya. Saat ini media tradisional telah mengalami transformasi dengan media massa modern. Dengan kata lain, ia tidak lagi dimunculkan secra apa adanya, melainkan sudah masuk ke media televisi (transformasi) dengan segala penyesuaiannya. Misal acara seni tradisional wayang kulit yang disiarkan oleh oleh suatu televisi swasta.
C. Fungsi Media Tradisional
William Boscon (dalam Nurudin, 2004) mengemukakan fungsi-fungsi pokok folklor sebagai media tradisional adalah sebagai berikut:
Sebagai sistem proyeksi. Folklor menjadi proyeksi angan-angan atau impian rakyat jelata, atau sebagai alat pemuasan impian (wish fulfilment) masyarakat yang termanifestasikan dalam bentuk stereotipe dongeng. Contohnya adalah cerita Bawang Merah dan Bawang Putih, cerita ini hanya rekaan tentang angan-angan seorang gadis desa yang jujur, lugu, menerima apa adanya meskipun diperlakukan buruk oleh saudara dan ibu tirinya, namun pada akhirnya berhasil menikah dengan seorang raja, cerita ini mendidik masyarakat bahwa jika orang itu jujur, baik pada orang lain dan sabar akan mendapat imbalan yang layak.
Sebagai penguat adat. Cerita Nyi Roro Kidul di daerah Yogyakarta dapat menguatkan adat (bahkan kekuasaan) raja Mataram. Seseorang harus dihormati karena mempunyai kekuatan luar biasa yang ditunjukkan dari kemapuannya memperistri ”makhluk halus”. Rakyat tidak boleh menentang raja, sebaliknya rasa hormat rakyat pada pemimpinnya harus dipelihara. Cerita ini masih diyakini masyarakat, terlihat ketika masyarakat terlibat upacara labuhan (sesaji kepada makhluk halus) di Pantai Parang Kusumo.
Sebagai alat pendidik. Contohnya adalah cerita Bawang Merah dan Bawang Putih, cerita ini mendidik masyarakat bahwa jika orang itu jujur, baik pada orang lain dan sabar akan mendapat imbalan yang layak.
Sebagai alat paksaan dan pengendalian sosial agar norma-norma masyarakat dipatuhi. Cerita ”katak yang congkak” dapat dimaknai sebai alat pemaksa dan pengendalian sosial terhadap norma dan nilai masyarakat. Cerita ini menyindir kepada orang yang banyak bicara namun sedikit kerja.
Sifat kerakyatan bentuk kesenian ini menunjukkan bahwa ia berakar pada kebudayaan rakyat yang hidup di lingkungannya. Pertunjukkan-pertunjukkan semacam ini biasanya sangat komunikatif, sehingga mudah dipahami oleh masyarakat pedesaan. Dalam penyajiannya, pertunjukkan iniini biasanya diiringi oleh musik daerah setempat (Direktorat Penerangan Rakyat, dalam Jahi, 1988).
Ranganath (1976), menuturkan bahwa media tradisional itu akrab dengan massa khalayak, kaya akan variasi, dengan segera tersedia, dan biayanya rendah. Ia disenangi baik pria ataupun wanita dari berbagai kelompok umur. Secara tradisional media ini dikenal sebagai pembawa tema. Disamping itu, ia memiliki potensi yang besar bagi komunikasi persuasif, komunikasi tatap muka, dan umpan balik yang segera. Ranganath juga memepercayai bahwa media tradisional dapat membawa pesan-pesan modern.
Eapen (dalam Jahi, 1988) menyatakan bahwa media ini secara komparatif murah. Ia tidak perlu diimpor, karena milik komunitas. Di samping itu, media ini tidak akan menimbulkan ancaman kolonialisme kebudayaan dan dominasi ideologi asing. Terlebih lagi, kredibilitas lebih besar karana ia mempertunjukkan kebolehan orang-orang setempat dan membawa pesan-pesan lokal, yang tidak berasal dari pemerintah pusat. Media rakyat ini bersifat egaliter, sehingga dapat menyalurkan pesan-pesan kerakyatan dengan lebih baik daripada surat kabar yang bersifat elit, film, radio, dan televisi yang ada sekarang ini.
Sifat-sifat umum media tradisional ini, antara lain mudah diterima, relevan dengan budaya yang ada, menghibur, menggunakan bahasa lokal, memiliki unsur legitimasi, fleksibel, memiliki kemampuan untuk mengulangi pesan yang dibawanya, komunikasi dua arah, dan sebagainya. Disssanayake (dalam Jahi,1988) menambahkan bahwa media tradisional menggunakan ungkapan-ungkapan dan simbol-simbol yang mudah dipahami oleh rakyat, dan mencapai sebagaian dari populasi yang berada di luar jangkauan pengaruh media massa, dan yang menuntut partisipasi aktif dalam proses komunikasi.
D. Keberadaan Media Tradisional
Pada masa silam, media tradisional pernah menjadi perangkat komunikasi sosial yang penting. Kinipenampilannya dalam masyarakat telah surut. Di Filipina, Coseteng dan Nemenzo (dalam Jahi, 1988) melaporkan bahwa surutnya penampilan media ini antara lain karena:
1. Diperkenalkannya media massa dan media hiburan modern seperti media cetak, bioskop, radio, dan televisi.
2. Penggunaan bahasa Inggris di sekolah-sekolah, yang mengakibatkan berkurangnya penggunaan dan penguasaan bahasa pribumi, khususnya Tagalog.
3. Semakin berkurangnya jumlah orang-orang dari generasi terdahulu yang menaruh minat pada pengembangan media tradisional ini, dan
4. Berubahnya selera generasi muda.
Di Indonesia, situasinya kurang lebih sama. Misalnya, beberapa perkumpulan sandiwara rakyat yang masih hidup di Jawa Tengah dan Jawa Timur, yang biasanya mengadakan pertunjukkan keliling di desa-desa, ternyata kurang mendapat penonton, setelah televisi masuk ke desa. Hal ini, mencerminkan bahwa persaingan media tradisional dan media modern menjadi semakin tidak berimbang, terlebih lagi setelah masyarakat desa mulai mengenal media hiburan modern seperti kaset video.
Pertunjukkan rakyat yang kebanyakan menggunakan bahasa daerah mulai ditinggalkan orang, terutama setelah banyak warga masyarakat menguasai bahasa Indonesia. Di pihak lain, jumlah para seniman yang menciptakan dan memerankan pertunjukkan-pertunjukkan tradisional itupun semakin berkurang. Generasi baru nampaknya kurang berminat untuk melibatkan diri dalam pengembangan pertunjukkan tradisional yang semakin kurang mendapat sambutan khalayak ini.
Surutnya media tradisional ini dicerminkan pula oleh surutnya perhatian para peneliti komunikasi pada media tersebut. Schramm dan Robert (dalam Ragnarath, 1976) melaporkan bahwa antara tahun 1954 dan 1970 lebih banyak hasil penelitian komunikasi yang diterbitkan dari masa sebelumnya. Akan tetapi dalam laporan-laporan penelitian itu tidak terdapat media tradisional. Berkurangnya minat masyarakat pada media tradisional ini ada hubungannya dengan pola pembangunan yang dianut oleh negara dunia ketiga pada waktu itu. Ideologi modernisasi yang populer saat itu, mendorong negara-negara tersebut untuk mengikuti juga pola komunikasi yang dianjurkan. Dalam periode itu kita menyaksikan bahwa tradisi lisan mulai digantikan oleh media yang berdasarkan teknologi. Sebagai akibatnya, komunikasi menjadi linear dan satu arah.
Untuk mempercepat laju pembangunan, banyak negara yang sedang berkembang di dunia ketiga menginvestasikan dana secara besdar-besaran pada pembangunan jaringan televisi, dan akhir-akhirnya pada komunikasi satelit (Wang dan Dissanayake, dalam Jahi, 1988). Mereka lupa bahwa investasi besar pada teknologi komunikasi itu, jika tidak diiringi oleh investasi yang cukup pada perangkat lunaknya, akan menimbulkan masalah serius di kemudian hari. Kekuarangan ini menjadi kenyataan tidak lama setelah mereka mulai mengoperasikan perangkat keras media besar itu. Mereka segera mengalami kekuarangan program yang sesuai dengan dengan situasi dan kebutuhan domestik, dan juga mengalami kesulitan besar dalam pembuatan program-program lokal. Kesulitan ini timbul karena terbatasnya sumber daya manusiawi yang terlatih untuk membuat program-program lokal yang kualitasnya dapat diterima masyarakat dan besarnya biaya produksi.
Situasi ini mengakibatkan negara-negara dunia ketiga itu mengambil jalan pintas dengan jalan mengimpor banyak program berita maupun hiburan dari negara-negara maju. Keluhan yang timbul kemudian ialah bahwa isi program-program tersebut tidak sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan domestik. Kecenderungan ini tentunya sangat berbahaya, karena dapat mengikis kebudayaan asli dan merangsang tumbuhnya konsumerisme yang kurang sesuai dengan perkembang di negeri itu.
Perhatian para peneliti komunikasi pada media tradisional, bangkit kembali setelah menyaksikan kegagalan media massa, dan kegagalan pembangunan di banyak negara dunia ketiga dalam dasawarsa 1960. media tradisonal secara pasti dan mantap mulai dikaji kembali pada dasawarsa 1960 di negara-negara sedang berkembang di Asia dan Afrika. Kemungkinan untuk memanfaatkan media ini secara resmi mulai ditelusuri. UNESCO pada tahun 1972 menyarankan penggunaan media tradisional secara terorganisasikan dan sistematik dapat menumbuhkan motivasi untuk kerja bersama masyarakat. Yang tujuan utamanya tidak hanya bersifat pengembangan sosial dan ekonomi, tetapi juga kultural (Ranganath, 1976)
Kemudian Ranganath (1976) menunjukkan peristiwa-peristiwa internasional yang menaruh perhatian pada pengembangan dan pendayagunaan media tradisional bagi pembangunan. Salah satu di antaranya ialah seminar yang dilaksanakan oleh East West Communication Institute di Hawai, yang menegaskan kembali bahwa strtegi komunikasi modern di negara-negara yang sedang berkembang akan mengalami kerugian besar, jika tidak didukung oleh media tradisional.
E. Peran Media Tradisional dalam Sistem Komunikasi
Media tradisional mempunyai nilai yang tinggi dalam sitem komunikasi karena memiliki posisi khusus dalam sistem suatu budaya. Kespesifikan tanda-tanda informasi yang dilontarkan dalam pertunjukkan-pertunjukkan tradisional itu maupun konteks kejadian, mengakibatkan orang-orang berasal dari sistem budaya lain sulit menyadari, memahami, dan menghayati ekspresi kesenian yang bersifat verbal, material, maupun musik yang ditampilkan (Compton, 1984).
Kesulitan tersebut berasal dari kerumitan untuk memahami tanda-tanda nonverbal yang ditampilkan, yang umumnya tidak kita sadari. Demikian juga dengan tidak memadainya latar belakang kita untuk memahami simbolisme religi dan mitologi yang hidup disuatu daerah, tempat pertunjukan tradisional itu terjadi.
Sebagian dari media rakyat ini, meskipun bersifat hiburan dapat juga membawa pesan-pesan pembangunan. Hal ini dapat terjadi karena media tersebut juga menjalankan fungsi pendidikan pada khalayaknya. Oleh karena itu, ia dapat digunakan untuk menyampaikan pengetahuan kepada khalayak(warga masyarakat). Ia dapat juga menanamkan dan mengukuhkan nilai-nilai budaya, norma sosial, dan falsafah sosial (Budidhisantosa, dalam Amri Jahi 1988).
Walaupun demikian, bertolak belakang dengan keoptimisan ini, para ahli memperingatkan bahwa tidak seluruh media tradisional cukup fleksibel untuk digunakan bagi maksud-maksud pembangunan. Karena memadukan yang lama dan yang baru tidak selamanya dapat dilakukan dengan baik. Kadang-kadang hal semacam ini malah merusak media itu, sehingga kita harus waspada (Dissanayake, 1977). Masalah-masalah dihadapi dalam penggunaan seni pertunjukkan tradisional untuk maksud pembangunan, sebanrnya ialah bagaimana menjaga agar media tersebut tidak mengalami kerusakan. Oleh karena pertunjukkan tradisional ini memadukan berbagai unsur kesenian yang bernilai tinggi, yang menuntut kecanggihan maka dukungan seni sangat penting dalam medesain pesan-pesan pembangunan yang akan disampaikan (Siswoyo, dalam Amri Jahi 1988).
Meskipun banyak kesulitan yang dihadapi dalam menyesuaikan penggunaan media tradisional bagi kepentingan pembangunan, riset menunjukkan bahwa hal itu masih mungkin dilakukan. Pesan-pesan pembangunan dapat disisipkan pada pertunjukkan-pertunjukkan yang mengandung percakapan, baik yang bersifat monolog maupun dialog, dan yang tidak secara kaku terikat pada alur cerita. Wayang misalnya, salah satu pertunjukkan tradisional yang terdapat di jawa, Bali, dan daerah-daerah lain di Indonesia, yang dapat dimanfaatkan sebagai media penerangan pembangunan. Pertunjukkan biasanya menampilkan episode-episode cerita kepahlawanan Hindu seperti Ramayana dan Mahabarata. Pertunjukkan wayang biasanya disampaikan dalam bahasa daera misalnya bahasa jawa, Sunda, atau Bali yang diiringi nyanyian dan musik yang spesifik. Bagi orang-orang tua yang masih tradisional, wayang lebih daripada sekedar hiburan. Mereka menganggap wayang sebagai perwujudan moral, sikap, dan kehidupan mistik yang sakral. Pertunjukkan tersebut selalu menekankan perjuangan yang baik melawan yang buruk. Biasanya yang baik setelah mkelalui perjuangabn yang panjang dan melelahkan akan mendapat kemenangan. Disamping itu moralitas wayang mengajarkan juga cara memperoleh pengetahuan, kedamaian pikiran, dan sikap positif yang diperlukan untuk mencapai kesempurnaan hidup.
Episode-episode cerita wayang cukup ketat. Namun, pesan-pesan pembangunan masih dapat disisipkan dalam dialog-dialog yang dilakukan. Banyak episode wayang yang dapat dipilih dan dipertunjukkan dalam kesempatan-kesempatan tertentu. Misalnya, untuk menumbuhkan semangat rakyat dalam perang kemerdekaan, mengisi kemerdekaan, integrasi bangsa, dan sebagainya. Pada zaman revolusi kemerdekaan Indonesia (1945-1949) Departemen Penerangan menciptakan wayang suluh untuk melancarkan kampanye perjuangan. Mereka menampilkan tokoh-tokoh kontemporer seperti petani, kepala desa, pejuang, serdadu Belanda, Presiden Sukarno, dan sebagainya. Wayang suluh ini, pada dasarnya, menceritakan perjuangan para pemimpin dan rakyat Indonesia menuju Kemerdekaan.
DAFTAR PUSTAKA
Nurudin, 2004, Sistem Komunikasi Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta
Amri Jahi, 1988, Komunikasi Massa dan Pembangunan Pedesaan di Negara-Negara Dunia Ketiga, PT Gramedia, Jakarta
Abdul Muis, 1984, Communicating New Ideas to Traditional Villagers: an Indonesian Case, Media Asia 11
Ranganath, 1976, Telling the People Tell Themselves, Media Asia 3