A. Pengertian Khalayak
Menurut pengertian yang dipakai secara umum dalam komunikasi, maka pihak yang menjadi tujuan disampaikannya sesuatu pesan disebut sebagai penerima (receiver), atau khalayak (audience), atau komunikan. Meskipun demikian hendaklah dicatat bahwa khalayak sebenarnya hanyalah suatu peran yang sementara sifatnya. Sebab ketika pada giliran berikutnya penerima pesan akan memprakarsai penyampaian suatu pesan berikutnya, maka pada saat itu sebenarnya pihak yang tadinya disebut sebagai khalayak itu telah berubah peran menjadi komunikator.
Pengertian yang sama berlaku pula dalam komunikasi politik. Pihak yang tadinya pernah dikenali sebagai komunikator, atau sebagai saluran, pada saat yang lain dapat pula diidentifikasikan sebagai penerima pesan-pesan politik. Tergantung kepada situasi yang berlangsung. Namun begitu pembicaraan khalayak di sini nantinya akan memberi perhatian penekanan yang lebih banyak kepada khalayak dalam arti masyarakat luas atau yang kadangkala disebut juga sebagai publik .
Hennesy (dalam Nasution 1990), berkenaan dengan pelapisan khalayak komunikasi politik, membedakan publik sebagai berikut: a. publik umum (general public); b. publik yang penuh perhatian (the attentive public); c. elit opini dan kebijakan (the leadership public). Di antara semuanya, elit opini dan kebijakan merupakan kalangan yang paling aktif minatnya dalam masalah kepemerintahan dan seringkali sebagai pelaku politik. Sedangkan publik attentive merupakan khalayak yang menaruh perhatian terhadap diskusi-diskusi antar elit politik dan seringkali termobilisasi untuk bertindak dalam kaitan suatu permasalahan politik. Publik umum terdiri dari hampir separuh penduduk, dalam kenyataannya jarang berkomunikasi dengan para pembuat kebijakan.
Publik yang attentive, disebut juga lapisan yang penuh perhatian, merupakan sub-kultur yang khusus dimana kelompok-kelompok kepentingan yang merasa berkepentingan dengan masalah kebijakan umum ketimbang dengan kepentingan khusus. Khalayak yang berperhatian terhadap perkembangan yang berlangsung yang menyangkut kepemerintahan dan politik, merupakan suatu faktor yang amat diperlukan bagi terlaksananya sistem politik yang sehat. Mereka itulah lapisan masyarakat yang mau tahu dan menaruh perhatian pada pekembangan keadaan negaranya.
Publik attentive menempati posisi penting dalam proses opini. Pentingnya posisi tersebut menurut Nimmo (1978) didasarkan pada kenyataan:
1. Karena lapisan publik inilah yang berperan sebagai saluran komunikasi antar pribadi dalam arus pesan timbal balik antara pemimpin politik dengan publik umum. Publik attentive merupakan khalayak utama (key audience) dalam komunikasi politik.
2. Publik attentive menyertai para pemimpin politik sebagai pembawa konsensus politik. Yakni orang-orang yang digambarkan dalam bagian terakhir yang besar kemungkinannya daripada orang lain menunjang aplikasi spesifik aturan dan nilai-nilai umum demokrasi.
3. Publik attentive membentuk surrogate electorate atau pemilih bayangan dalam periode anatara masa pemilihan. Para politisi biasanya mempersepsikan gelombang arus opini di kalangan publik attentive sebagai representasi dari apa yang diyakini, dinilai, dan diharapkan oleh publik umum (yang kurang berperhatian kepada politik semasa periode di antara dua pemilu). Dengan kata lain, khalayak yang mempunyai perhatian itu merupakan lapisan masyarakat yang berkemauan untuk mengikuti dalam perkembangan politik yang berlangsung.
Dalam suatu penelitian mengenai kebudayaan politik (civic culture) di lima negara, Almond dan Verba (dalam Nasution 1988) mencoba mengetahui bagaimana penilaian anggota masyarakat tentang kompetensi politik dan keikutsertaan mereka dalam mempengaruhi sistem politik di tempat mereka berada. Responden di golongkan ke dalam skala yang menunjukkan sejauh mana mereka mengukur kompetensi diri mereka dalam berhubungan dengan pemerintahnya masing-masing. Skala tersebut didasarkan pada respon mereka terhadap lima pertanyaan yang berhubungan dengan pemerintahan setempat, yang masing-masing berbunyi:
a. Apakah mereka mengerti perkembangan politik di negaranya masing-masing?
b. Apakah mereka merasa bahwa dirinya masing-masing dapat melakukan tindakan untuk mempengaruhi pemerintahnya?
c. Apakah mereka merasa akan melakukan tindakan untuk mempengaruhi pemerintahan masing-masing?
d. Apakah masing-masing merasa dirinya akan berhasil dalam mempengaruhi pemerintah setempat?
e. Apakah masing-masing pernah mencoba mempengaruhi pemerintahannya?
Responden penelitian tersebut kemudian dikelompokkan menjadi high subjective political competence, medium political competence, dan low competence. Mereka yang termasuk tinggi dalam skala subjective competence-nya ternyata besar sekali kemungkinannya merupakan orang-orang yang memang membiarkan dirinya dikenai (exposed) komunikasi politik. Mereka yang tergolong high subjective competence oleh Almond dan Verba disebut sebagai self confident citizen yang berkemungkinan tidak hanya sekedar menjadi penerima(khalayak) dalam komunikasi politik, melainkan besar pula kemungkinannya untuk mengambil bagian dalam proses komunikasi politik itu sendiri. Dibanding dengan warga negara yang kompetensi subjektifnya rendah, maka mereka yang termasuk percaya diri tadi kemungkinan besar menjadi warga negara yang aktif, yakni mengikuti perkembangan politik, mendiskusikan politik, atau menjadi seorang partisan yang lebih aktif. Dari penelitian tersebut ditemukan bahwa golongan warga negara ini menyatakan membutuhkan kampanye pemilu, dan berpendapat bahwasanya warga negara biasanya berkewajiban untuk berpartisipasi dalam sistem politik di negara masing-masing.
Khalayak yang mempunyai perhatian terhadap perkembangan keadaan politik, memiliki informasi mengenai perkembnangan tersebut, dan mau aktif berpartisipasi, merupakan kebutuhan sistem politik. Menurut pandangan aktifis-rasional, suatu demokrasi yang sukses membutuhkan warga negara yang mau melibatkan diri dan aktif dalam politik, mempunyai dan memperoleh informasi politik, dan mempunyai pengaruh. Selanjutnya jika warga negara itu mengambil keputusan, khususnya keputusan penting tentang bagaimana memberikan suara, merka harus mendasarkan pada penilaian yang cermat atas dasar bukti-bukti dan pertimbangan yang diteliti mengenai alternatif-alternatif dari keputusan tersebut.
Sedangkan warga negara yang pasif, tidak memberikan suara, tidak memperoleh dan mengetyahui informasi, ataupun warga negara yang apatis, merupakan indikasi suatu demokrasi yang lemah. Meskipun kemudian, ada juga yang mempertanyakan model aktifis-rasional tersebut dalam studi mengenai perilaku politik, karena dalam kenyataannya memang warga negara dalam suatu sistem demokrasi jarang yang persis seperti itu. Warga yang dimaksud memang tidaklah sepenuhnya well-informed atau mengetahui keseluruhan, tidak pula semuanya secara khusus aktif, dan proses yang membawa mereka kepada keputusan votingnya tentunya hanya sekedar kalkulasi rasional. Kenyataan tersebut antara lain mendasari kritik bahwa model tadi tidak sepenuhnya akurat mencerminkan kultur kewarganegaraan di Amerika Serikat dan Inggris.
B. Khalayak komunikasi politik yang ideal
Baik dari sudut pandang ilmu politik, maupun dari sudut teori komunikasi terdapat persamaan gambaran mengenai ciri-ciri khalayak yang ideal. Di antara ciri itu adalah bahwa khalayak tersebut haruslah yang mempunyai perhatian untuk mengikuti perkembangan politik yang terjadi di sekelilingnya (dalam proses komunikasi dikenal adanya proses seleksi pada diri khalayak dalam attensi, interpretasi, dan retensi. Jadi adanya perhatian merupakan prasyarat untuk berlangsungnya komunikasi tersebut). Itu berarti khalayak tersebut mempunyai akses informasi yang tertatur, baik melalui saluran antarpribadi ataupun melalui media massa. Dengan perkataan lain, pertama-tama haruslah ada dorongan rasa ingin tahu atau rasa peduli kepada apa yang terjadi di masyuarakat dan negaranya. Dalam hubungan ini dapatlah diasumsikan bahwa, bila masyarakat mengikuti perkembangan politik dan pemerintahan, maka dalam pengertian tertentu mereka itu telah terlibat dalam suatu proses dengan keputusan-keputusan politik dalam arti luas ditetapkan.
Kemauan anggota masyarakat untuk mengikuti perkembangan keadaan merupakan suatu tingkat keterlibatan yang minimal. Kebudayaan kewargaan negara, mencakup suatu rasa kewajiban berpartisipasi dalam aktivitas input politik, sekaligus rasa kompetensi untuk berpartisipasi. Kemauan untuk mengikuti perkembangan politik dan kepemerintahan merupakan komitmen warga negara dalam arti yang terbatas. Namun tanpa hal itu, kebudayaan kewargaan negara yang disebutkan tadi tidak akan ada. Karena itu minat dan kesediaan untuk mengikuti perkembangan keadaan dapat dilihat sebagai cerminan dari komponen kognitif dari orientasi kewargaan negara.
Memang dapat dipahami mengapa partisipasi khalayak yang ideal itu masih sangat sedikit ditemukan pada masyarakat-masyarakat negara yang baru tumbuh. Karena itu untuk sampai pada keadaan khalayak ideal yang dimaksud, lebih dahulu harus dipenuhi berbagai persyaratan. Di antara factor yang menentukan adalah, tingkat kehidupan sosial ekonomi masyarakat, tahap pendidikan yang dicapai, pengenaan media, dan tentunya keadaan sosial masyarakat sendiri dalam arti apakah terdapat iklim sosial yang mendorong mereka menjadi ingin tahu dan ikut serta dalam gerak perkembangan politik dan kepemerintahan.
Selanjutnya, berkenaan dengan kompetensi demokrasi seorang anggota masyarakat yang berkaitan erat dengan dipunyainya informasi yang valid tentang issu-issu dan proses-proses politik. Setelah mempunyai informasi, para warga negara pun harus berkemampuan untuk menggunakan informasi yang dimaksud guna menganalisis issu-issu yang dihadapi dan memperangkati strategi-strategi pengaruh mereka dalam proses politik yang berlangsung.
Daftar Pustaka:
Dan Nimmo, 1989, Komunikasi Politik: Khalayak dan Efek (Edisi Terjemahan oleh Tjun Surjaman), Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Zulkarnaen Nasution, 1990, Komunikasi Politik Suatu Pengantar, Jakarta: Yudhistira.