PERIKLANAN POLITIK - Komunikasi Politik

Bolland (dalam McNair, 203) mendefinisikan periklanan sebagai penempatan pesan-pesan terorganisir pada media dengan membayar. Begitu juga periklanan politik, dalam pengertian yang sama, mengacu kepada pembelian dan penggunaan tentang ruang periklanan (advertising space), membayar untuk rating komersil, dalam rangka untuk mentransmisikan pesan-pesan politik kepada suatu khalayak. Media yang digunakan meliputi bioskop, billboards, pres, radio, dan televisi.


Iklan politik tidak melulu menyampaikan informasi tentang aneka pilihan yang tersedia untuk dikonsumsi oleh para partisipan politik. Namun iklan juga dirancang untuk membujuk. Dalam bujukan ini, iklan harus secara jernih/nyata menguntungkan politikus. Berkenaan dengan ini kendali kontrol editorial berada di tangan politikus (penerapan pada masing-masing sistem politik berbeda, ingat teorinya Sibert dkk.), bukan pada media. Produser periklanan politik mempunyai kebebasan untuk mengatakan apa yang mereka inginkan, bagaimana mereka memainkan/mensandiwarakan kekuatan klien mereka dan menyoroti kelemahan lawan.


Periklanan mempunyai dua fungsi pada proses pertukaran di antara suatu produser ( barang, jasa, atau program politik) dan konsumer[1]. Yaitu:


Pertama, periklanan itu menginformasikan. Proses politik diharapkan melibatkan pilihan-pilihan rasional oleh pemberi suara, yang harus didasarkan pada informasi. Sama halnya dengan iklan produk, yang menginformasikan ketersediaan suatu merk, harganya, kegunaannya. periklanan politik kontemporer dapat dilihat sebagai suatu pengertian penting tentang menginformasikan penduduk berkenaan dengan siapa yang berpengaruh (who is standing) dan kebijakan apa yang mereka tawarkan.


Kedua, periklanan itu membujuk (persuasif). Pierre Martineau (dalam McNair, 2003) menyatakan bahwa dalam suatu sistem yang kompetitif, suatu produk harus dipelihara dengan berbagai teknik unggul; harus dinvestasikan dengan nada tambahan (overtones) ke individu-individu konsumen; harus diberkahi dengan kesempurnaan imajinasi dan asosiasi; harus mempunyai banyak orang pada suatu level, jika kita mengharapkan produk itu mencapai tingkat penjualan puncak, jika kita berharap produk itu mencapai penerimaan emosional (seperti loyalitas merk). Menggunakan bahasa Marx: pabrikan menciptakan suatu komoditas/produk dengan pemberkatan (endowing) bahan baku ke nilai pakai/kegunaan. Pengiklan menyampaikan perubahan nilai (perubahan dari bahan baku ke suatu nilai pakai) itu tidak hanya didasarkan pada kegunaan saja, tetapi juga memberikan makna produk itu pada suatu golongan (klas) masyarakat. Sependapat dengan Marx, Boudrillard (dalam McNair,2003) meyakini bahwa setiap produk mempunya tanda nilai (sign-value), berkenaan dengan hirarkhi sosial, perbedaan masing-masing individu, perlakuan khusus terhadap suatu kasta dan kultur mereka, ditemukannya keuntungan, kepuasan pribadi. Komoditas hadir selain karena kegunaannya, juga memberikan penanda[2] makna tentang komoditas itu. Mobil Porche tidak hanya sekedar alat transportasi saja, begitu juga Levi 501 tidak sekedar pakaian pekerja. Sepanjang komoditas diterima pada maknanya itu, periklanan adalah sarana yang paling utama yang dapat digunakan produsen untuk membawa komoditas ke pasar. Fungsi periklanan, membuat komoditas menjadi berarti bagi calon pembelinya, dengan pembeda satu produk dengan produk lain yang secara fungsional serupa. Dan melakukan fungsi ini dengan cara menghubungan dengan keinginan/hasrat konsumen ( budaya, hirarhki, dsb). Dalam periklanan, kreator pesan mencoba untuk menyelaraskan penanda-penanda (dari sautu komoditas) dengan apa yang ada pada audiensnya, sehingga terdapat keakraban, tanda penuh arti. Dengan begitu mereka berharap konsumen menjawab dengan perilaku yang sesuai.



Craven (1996) mengkategorikan teknik iklan ke dalam dua hal, yaitu: imbauan iklan (advertising appeals), dan eksekusi iklan (advertising executions).


· Imbauan iklan bertujuan menarik tanggapan komunikan dari suatu iklan. Imbauan (appeal)[3] merupakan pesan untuk menumbuhkan keinginan komunikan untuk memenuhi kebutuhan yang terpendam. Daya tarik ini dapat dikatakan merupakan dasar dari kandungan iklan, dan merupakan suatu cara untuk menjelaskan bagaimana iklan itu bekerja memotivasi[4], menarik perhatian komunikan.


· Eksekusi iklan adalah bagaimana kandungan iklan itu disampaikan. Misal, iklan minyak pelumas motor Enduro disampaikan dengan cara humor berbau porno – cara Basuki (pelawak) membonceng motor yang dikendarai wanita seperti suatu gaya bersetubuh.



Diamond dan Bates (dalam McNair, 2003) mengidentifikasikan empat fase dari tipe kampanye periklanan politik di Amerika, yaitu:


1. Identitas kandidat, dalam fase ini biografi positif dari kandidat harus harus dikemas sedemikian rupa untuk menumbuhkan kesan yang bagus.


2. Kebijakan kandidat


3. Menyerang lawan, menggunakan hal negatif.


4. Kandidat harus diberkahi dengan pemaknaan positif dalam konteks aspirasi dan nilai-nilai dari orang-orang yang mempunyai hak pilih.





Daftar pustaka:


Philip Kotler, 1997, Marketing Management ed. 9th, perj. Hendra teguh dan Rony Rusli, Jakarta: PT Prenhallindo.


-----------------, 2003, Marketing Management ed. 11th, perj. Benjamin Molan, Jakarta: PT Prenhallindo.


Dan Nimmo, 1987, Political Communication and Public Opinion in America, penerj. Tjun Permadi, Bandung: Remaja Rosdakarya.


David Craven, 1996, Pemasaran Strategis, jilid 1, Jakarta: Erlangga.


Brian McNair, 2003, An Introduction to Political Communication, ed. 3rd, London: Routledge.




[1] Kotler (2003) melihat fungsi iklan dalam tiga hal. Yaitu: a. Periklanan informatif (misal: memberitahukan pasar tentang suatu produk baru, mengusulkan kegunaan baru suatu produk, menjelaskan cara kerja suatu produk, memberitahu pasar tentang perubahan harga, membangun citra perusahaan); b. Periklanan persuasif (misal: membujuk pembeli untuk membeli, membentuk preferensi merek, mendorong alih merek, mengubah persepsi pembeli tentang atribut produk); dan c. Periklanan pengingat (misal: membuat pembeli tetap ingat produk itu walau tidak sedang musimnya, mempertahankan kesadaran puncak).


[2] Pada awalnya, istilah ini dikembangkan oleh Saussure, salah seorang pelopor semiotika. Baginya tanda merupakan objek fisik dengan sebuah makna. Sebuah tanda terdiri atas penanda dan petanda. Penanda (signifier) merupakan citraan atau kesan mental dari sesuatu yang bersifat verbal atau visual, seperti suara, tulisan, atau benda. Petanda (signified) merupakan konsep abstrak atau makna yang dihasilkan oleh tanda. Dalam semiotika, hubungan antara penanda dan petanda biasa disebut pertandaan (signifikasi).


[3] Jaluddin rakhmat (1994) mengolongkan imbauan pesan sebagai berikut: imbauan rasional; imbauan emosional; imbauan takut; imbauan ganjaran; imbauan motivasional.


[4] Nimmo (1987), dalam Political Communication and Public Opinion in America, menyatakan bahwa di masyarakat terdapat suatu kecenderungan untuk mengharapkan dan memilih rangsangan yang positif ketimbang yang negatif dalam persepsinya. Hal ini menyiratkan bahwa para pemimpin pemerintah dan calon pejabat, setidak-tidaknya dalam periklanan, harus ‘berpikir positif’. Kecenderungan yang positif ini bekerja bersama-sama dengan pengaruh identifikasi partisan (khalayak) dalam membimbing pengiklan politik menuju jalan tengah, non controversial, bahkan pesan yang lembut yang menonjolkan kepribadian yang menarik di atas masalah-masalah yang memecah belah belah. Bagi para pengiklan politik pengenalan terhadap karakteristik sosial anggota khalayak karena dua alasan. Pertama, ada kemungkinan bahwa pola komunikasi dipengaruhi demografi (terdapat perbedaan-perbedaan orang dalam kebiasaan menonton TV karena usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, penghasilan, dsb) suatu imbauan iklan kepada kelompok demografi tertentu harus menggunakan lambang-lambang dan diprogramkan melalui media yang cocok bagi khalayak itu. Kedua, para pengiklan politik juga menyadari bahwa alur pesan komunikasi massa tidak hanya satu tahap. Dalam hal ini, mereka juga mengandalkan pengaruh dari para pemuka pendapat (opinion leader)